Rabu, 17 Oktober 2012

PENGURBANAN MENYISIHKAN WAKTU


Selaku muslim, kita meyakini bahwa setiap manusia menjalani mati dan hidup masing-masing dua kali; mati pertama, saat manusia belum lahir ke dunia dan mati kedua saat manusia meninggalkan dunia. Hidup pertama saat manusia terlahir ke dunia dan hidup kedua saat manusia dibangkitkan kembali di akhirat nanti untuk mempertanggungjawabkan segala amalan untuk hidup abadi dengan berbagai kenikmatan (surga) atau hidup abadi dengan penuh penderitaan (neraka). Oleh karenanya selaku muslim hendaknya kita jadikan hidup pertama ini sebagai modal menghadapi hidup kedua nanti yang abadi guna mendapatkan kebahagiaan. Tiada kebahagiaan abadi dan sempurna kecuali nanti dihari akhir, dan tiada penderitaan yang abadi kecuali nanti penderitaan di hari akhir.

Perjalanan hidup manusia bagaikan seseorang yang dikejar harimau (alam kubur) di hutan belantara, dia lari memanjat pohon tinggi tinggal di atasnya dan selamat dari terkaman harimau. Tetesan madu dari sarang lebah (dunia dan isinya) membuatnya terlupa bahwa sang harimau (alam kubur) tetap menunggu di bawah pohon. Dia terus mencicipi manisnya madu (dunia), merasa tenang dan yakin sang harimau tidak bisa memanjat. Tetapi ternyata batang pohon (umur manusia) tersebut kian lama kian lapuk digerogoti tikus hitam dan tikus putih (malam dan siang). Manisnya madu (dunia) membuatnya tidak sadar bahwa batang pohon mulai lapuk (usia senja) dan hampir tumbang. Tidak ada persiapan untuk menghadapi bahaya harimau (alam kubur) yang tetap menunggu.

Umat Islam dituntut untuk memprogramkan agar hidup fieddunya hasanah dan fiel akhirati hasanah. Mempersiapkan untuk hasanah di dunia dan memprogramkan untuk mendapatkan hasanah di akhirat. Hanya untuk meraih hasanah di dunia saja begitu susah; kerja keras, keluh kesah, banting tulang, memeras keringat dari pagi hingga sore kenyataannya tidak semua mendapatkan kebahagiaan dunia dengan kekayaan yang melimpah.

Untuk meraih fiel akhirati hasanah tentu juga tidak hanya sekedar dengan persiapan yang minim, diperlukan persiapan yang kuat. Bahkan umat Islam dituntut untuk meyakini walal âkhiratu khairul laka minal ûla, yakinkanlah bahwa akhirat lebih baik daripada dunia. Maka tentu untuk persiapan fiel akhirati hasanah memerlukan persiapan yang kuat dan maksimal, tidak asal-asalan. Dalam hal ini Iedul Adha; bulan peningkatan ketakwaan, bulan ujian ketakwaan, bulan pengurbanan. Setiap muslim di dunia diingatkan bahwa kita dituntut untuk berkurban agar meraih fiel akhirati hasanah, kebahagiaan yang abadi.

Siapapun berhak mendapat surga dengan catatan âmanu wa âmilusshâlihât, beriman dan beramal sholeh. Seorang Bilal saja pernah ditanya Rasul, "Amal apa yang menyebabkan tadi malam aku dengar suara sandal kamu di surga!" dengan pertanyaan yang merupakan kabar gembira tersebut Bilal hanya menyatakan, "Saya tidak mempunyai harta untuk berzakat, saya tidak mampu berinfak seperti orang lain hanyasaja saya selalu membiasakan shalat dua rakaat (syukrul wudlu-shalat thuhur) setiap habis wudlu baik siang maupun malam." Rasul menyatakan, Dengan itulah kamu berhak mendapatkan surga!"

Karenanya surga terbuka untuk siapa saja. Oleh karenanya untuk meraih surga dibutuhkan pengorbanan; menyisihkan sebagian anugerah dan pemberian Allah Swt., bukan menyisihkan sebagain besar namun sebagian kecil; zakat misalnya, hanya 5 s.d 10% (pertanian), 2.5% (perdagangan, dll).

Jika kita menghitung usia per hari 24 jam (1440 menit); sebanyak itu kita sisihkan 25 menit untuk shalat 5 waktu (@ 5 menit), plus wudlu, @ 5 menit, total 50 menit. Lalu kita sisihkan untuk menghadiri majelis pengajian sekitar 2 jam (120 menit) dalam seminggu, berarti ± 20 menit dalam sehari. Total 70 menit menyisihkan waktu untuk meraih surga. Sungguh sebagian kecil waktu kita tersisihkan per hari.

Jika kita bandingkan dengan waktu untuk tidur 8 jam per hari, jika jatah usia 60 tahun berarti 20 tahun untuk tidur (1/3 usia). Sementara waktu untuk shalat menurut perhitungan di atas, misalnya dari 60 tahun usia manusia hanya membutuhkan 285 hari. Sungguh sangat minim sekali. Belum lagi potongan karena lupa, qashar dan lainnya. Apalagi untuk para wanita dipotong haid 25% dari 285 hari dikurangi 75 hari tinggal 210 hari, belum nifas untuk sekali melahirkan 40 hari, jika melahirkan 5 kali tinggal 10 hari dari total usia 60 tahun. Tidak terbayangkan jika punya anak 8, habislah waktu kita, sedangkan masih ada utang (kasbon) untuk waktu shalat. Demikian jika kita hitung secara matematis sungguh sebagian kecil sekali waktu yang kita sisihkan untuk meraih surga.

Nabi menggugah bahwa dalam diri manusia ada 360 tulang, 360 sendi, Nabi bersabda, "Coba setiap tulang itu disedekahi!" para sahabat kurang mengerti maksud sabda Nabi, bagaimana cara mensedekahi tulang. Nabi bersabda, "Disamping shalat yang wajib, rajinlah shalat sunnat!" karena shalat merupakan ibadah badaniyah, dengan shalat, 360 tulang semua tergerakkan. Maka sebagai salah satu wujud syukur kita adalah dengan shalat.

Dalam diri kita ada tiga anggota indera yang sering disinggung dalam Alquran; pendengaran, penglihatan dan hati (akal). Ketiganya akan dimintai pertanggunganjawaban. Pendengaran sebagai anugerah dari Allah sudah selayaknya kita sisihkan untuk mendengarkan pengajian, membaca Alquran dan mendengarkan nasihat. Begitu dengan mata, sisihkan sebagian untuk membaca Alquran dan alhadits. Pun dengan akal (hati) hendaknya disisihkan dengan memberikan perhatian dalam memikirkan kemajuan agama.

Demikian pula dengan pengurbanan harta. Bukan saja Allah Swt., menciptakan fisik kita yang begitu sempurna, Allah Swt., juga menyediakan bekal hidup manusia; baik berupa makanan, minuman, rumah, pakaian dan kendaraan, cobalah untuk menyisihkan sebagiannya (berqurban) untuk mengabdi dan berbakti di jalan Allah; bisa dengan zakat, infak dan shadaqoh. Zakat telah serba ditentukan oleh agama; apa, berapa, dan kepada siapa zakat itu harus dibagikan, telah ditentukan. Infak, juga wajib tapi tidak ditentukan besar dan kecilnya tergantung kebutuhan dan tuntutan. Shadaqoh, terserah kesiapan dan kesanggupan masing-masing. Bisa jadi seseorang tidak mampu berzakat karena memang tidak ada sesuatu yang harus dizakati (miskin), tapi tentu tidak lepas begitu saja, masih ada infak yang tidak ditentukan dan shadaqoh yang sesuai dengan kesanggupan. Nabi bersabda, "Jagalah keselamatan diri kamu dari sentuhan api neraka walau sedekah dengan sebelah kurma."

Demikianlah tuntutan berqurban, bukan berarti dalam artian penyembelihan hewan qurban saja, tapi apapun anugerah dari Allah Swt.; baik berupa waktu, tempat, harta dan kesempatan cobalah sisihkan sebagian kecilnya untuk kepertingan agama yang hakikatnya untuk kepentingan diri kita sendiri dalam rangka menjaga keselamatan diri di hari akhir.

Pada dasarnya kita semua mempunyai tiga sahabat; sahabat A (harta), sahabat B (keluarga), dan sahabat C (agama). Pelayanan dan perhatian kepada masing-masing sahabat itu berbeda. Kepada sahabat A, perhatian kita begitu kuat dan berlebihan. Kepada sahabat B, perhatian kita wajar dan biasa saja. Dan kepada sahabat C, perhatian yang kita berikan hanya merupakan sisa dari perhatian kita terhadap sahabat A dan B.

Suatu hari kita dipanggil pengadilan (kematian-alam kubur). Lantas kita minta tolong pada tiga sahabat tersebut. Sahabat A (harta kekayaan) tidak bisa menolong bahkan mengantarpun tidak sedangkan perhatian kita padanya begitu lebih dari sahabat yang lain. Sahabat B (sanak keluarga), hanya bisa mengantar (sampai pintu kubur) selebihnya mereka pulang dan kita sendiri yang harus menghadapi pengadilan (alam kubur). Tetapi ternyata sahabat C (agama) yang mampu mengantar bahkan mendampingi kita di pengadilan, sedangkan perhatian kepadanya saat hidup di dunia hanya sekedarnya saja. Waktu itulah kita menyesal kenapa tidak memberikan perhatian lebih kepada sahabat C (agama), dengan perhatian lebih dia (agama) tidak hanya mengantar dan mendampingi bahkan bisa membela kita di pengadilan alam kubur.

Maka dengan Iedul Adha ini kita dituntut untuk berqurban, apapun anugerah dari Allah yang telah kita terima, qurbankanlah sebagiannya, hakikatnya untuk keselamatan diri kita nanti dihari akhir, untuk mendampingi dan membela diri kita.

Demikianlah makna pengurbanan dari Iedul Adha yang harus kita hayati, resapi sekaligus berintropeksi, "Wal tandzur nafsun mâ qoddamat li ghad!" apa yang telah kita persiapkan untuk hari esok, hari akhir, hari kiamat yang senantiasa menunggu kita.

Mudah-mudahan selamanya kita mendapatkan hidayah dan inayah dari Allah Swt., mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari-Nya agar betul-betul kita mampu meningkatkan pengurbanan untuk keselamatan kita nanti di hari akhir. Mudah-mudahan Allah membukakan pintu hati kita untuk senantiasa taat terhadap ajaran dan ajakan-Nya. [Assaha]

Sumber : http://www.pajagalan.com/2007/12/pengurbanan-dengan-menyisihkan-waktu.html