Selaku muslim, kita meyakini bahwa setiap manusia
menjalani mati dan hidup masing-masing dua kali; mati pertama, saat manusia
belum lahir ke dunia dan mati kedua saat manusia meninggalkan dunia. Hidup
pertama saat manusia terlahir ke dunia dan hidup kedua saat manusia
dibangkitkan kembali di akhirat nanti untuk mempertanggungjawabkan segala
amalan untuk hidup abadi dengan berbagai kenikmatan (surga) atau hidup abadi
dengan penuh penderitaan (neraka). Oleh karenanya selaku muslim hendaknya kita
jadikan hidup pertama ini sebagai modal menghadapi hidup kedua nanti yang abadi
guna mendapatkan kebahagiaan. Tiada kebahagiaan abadi dan sempurna kecuali
nanti dihari akhir, dan tiada penderitaan yang abadi kecuali nanti penderitaan
di hari akhir.
Perjalanan hidup manusia bagaikan seseorang yang
dikejar harimau (alam kubur) di hutan belantara, dia lari memanjat pohon tinggi
tinggal di atasnya dan selamat dari terkaman harimau. Tetesan madu dari sarang
lebah (dunia dan isinya) membuatnya terlupa bahwa sang harimau (alam kubur)
tetap menunggu di bawah pohon. Dia terus mencicipi manisnya madu (dunia),
merasa tenang dan yakin sang harimau tidak bisa memanjat. Tetapi ternyata
batang pohon (umur manusia) tersebut kian lama kian lapuk digerogoti tikus
hitam dan tikus putih (malam dan siang). Manisnya madu (dunia) membuatnya tidak
sadar bahwa batang pohon mulai lapuk (usia senja) dan hampir tumbang. Tidak ada
persiapan untuk menghadapi bahaya harimau (alam kubur) yang tetap menunggu.
Umat Islam dituntut untuk memprogramkan agar hidup
fieddunya hasanah dan fiel akhirati hasanah. Mempersiapkan untuk hasanah di
dunia dan memprogramkan untuk mendapatkan hasanah di akhirat. Hanya untuk
meraih hasanah di dunia saja begitu susah; kerja keras, keluh kesah, banting
tulang, memeras keringat dari pagi hingga sore kenyataannya tidak semua
mendapatkan kebahagiaan dunia dengan kekayaan yang melimpah.
Untuk meraih fiel akhirati hasanah tentu juga tidak
hanya sekedar dengan persiapan yang minim, diperlukan persiapan yang kuat. Bahkan
umat Islam dituntut untuk meyakini walal âkhiratu khairul laka minal ûla,
yakinkanlah bahwa akhirat lebih baik daripada dunia. Maka tentu untuk persiapan
fiel akhirati hasanah memerlukan persiapan yang kuat dan maksimal, tidak
asal-asalan. Dalam hal ini Iedul Adha; bulan peningkatan ketakwaan, bulan ujian
ketakwaan, bulan pengurbanan. Setiap muslim di dunia diingatkan bahwa kita
dituntut untuk berkurban agar meraih fiel akhirati hasanah, kebahagiaan yang
abadi.
Siapapun berhak mendapat surga dengan catatan âmanu
wa âmilusshâlihât, beriman dan beramal sholeh. Seorang Bilal saja pernah
ditanya Rasul, "Amal apa yang menyebabkan tadi malam aku dengar suara
sandal kamu di surga!" dengan pertanyaan yang merupakan kabar gembira
tersebut Bilal hanya menyatakan, "Saya tidak mempunyai harta untuk
berzakat, saya tidak mampu berinfak seperti orang lain hanyasaja saya selalu
membiasakan shalat dua rakaat (syukrul wudlu-shalat thuhur) setiap habis wudlu
baik siang maupun malam." Rasul menyatakan, Dengan itulah kamu berhak
mendapatkan surga!"
Karenanya surga terbuka untuk siapa saja. Oleh
karenanya untuk meraih surga dibutuhkan pengorbanan; menyisihkan sebagian
anugerah dan pemberian Allah Swt., bukan menyisihkan sebagain besar namun
sebagian kecil; zakat misalnya, hanya 5 s.d 10% (pertanian), 2.5% (perdagangan,
dll).
Jika kita menghitung usia per hari 24 jam (1440
menit); sebanyak itu kita sisihkan 25 menit untuk shalat 5 waktu (@ 5 menit),
plus wudlu, @ 5 menit, total 50 menit. Lalu kita sisihkan untuk menghadiri majelis
pengajian sekitar 2 jam (120 menit) dalam seminggu, berarti ± 20 menit dalam
sehari. Total 70 menit menyisihkan waktu untuk meraih surga. Sungguh sebagian
kecil waktu kita tersisihkan per hari.
Jika kita bandingkan dengan waktu untuk tidur 8 jam
per hari, jika jatah usia 60 tahun berarti 20 tahun untuk tidur (1/3 usia).
Sementara waktu untuk shalat menurut perhitungan di atas, misalnya dari 60
tahun usia manusia hanya membutuhkan 285 hari. Sungguh sangat minim sekali.
Belum lagi potongan karena lupa, qashar dan lainnya. Apalagi untuk para wanita
dipotong haid 25% dari 285 hari dikurangi 75 hari tinggal 210 hari, belum nifas
untuk sekali melahirkan 40 hari, jika melahirkan 5 kali tinggal 10 hari dari
total usia 60 tahun. Tidak terbayangkan jika punya anak 8, habislah waktu kita,
sedangkan masih ada utang (kasbon) untuk waktu shalat. Demikian jika kita
hitung secara matematis sungguh sebagian kecil sekali waktu yang kita sisihkan
untuk meraih surga.
Nabi menggugah bahwa dalam diri manusia ada 360 tulang,
360 sendi, Nabi bersabda, "Coba setiap tulang itu disedekahi!" para
sahabat kurang mengerti maksud sabda Nabi, bagaimana cara mensedekahi tulang.
Nabi bersabda, "Disamping shalat yang wajib, rajinlah shalat sunnat!"
karena shalat merupakan ibadah badaniyah, dengan shalat, 360 tulang semua
tergerakkan. Maka sebagai salah satu wujud syukur kita adalah dengan shalat.
Dalam diri kita ada tiga anggota indera yang sering
disinggung dalam Alquran; pendengaran, penglihatan dan hati (akal). Ketiganya
akan dimintai pertanggunganjawaban. Pendengaran sebagai anugerah dari Allah
sudah selayaknya kita sisihkan untuk mendengarkan pengajian, membaca Alquran
dan mendengarkan nasihat. Begitu dengan mata, sisihkan sebagian untuk membaca
Alquran dan alhadits. Pun dengan akal (hati) hendaknya disisihkan dengan
memberikan perhatian dalam memikirkan kemajuan agama.
Demikian pula dengan pengurbanan harta. Bukan saja
Allah Swt., menciptakan fisik kita yang begitu sempurna, Allah Swt., juga
menyediakan bekal hidup manusia; baik berupa makanan, minuman, rumah, pakaian
dan kendaraan, cobalah untuk menyisihkan sebagiannya (berqurban) untuk mengabdi
dan berbakti di jalan Allah; bisa dengan zakat, infak dan shadaqoh. Zakat telah
serba ditentukan oleh agama; apa, berapa, dan kepada siapa zakat itu harus
dibagikan, telah ditentukan. Infak, juga wajib tapi tidak ditentukan besar dan
kecilnya tergantung kebutuhan dan tuntutan. Shadaqoh, terserah kesiapan dan
kesanggupan masing-masing. Bisa jadi seseorang tidak mampu berzakat karena
memang tidak ada sesuatu yang harus dizakati (miskin), tapi tentu tidak lepas
begitu saja, masih ada infak yang tidak ditentukan dan shadaqoh yang sesuai
dengan kesanggupan. Nabi bersabda, "Jagalah keselamatan diri kamu dari
sentuhan api neraka walau sedekah dengan sebelah kurma."
Demikianlah tuntutan berqurban, bukan berarti dalam
artian penyembelihan hewan qurban saja, tapi apapun anugerah dari Allah Swt.;
baik berupa waktu, tempat, harta dan kesempatan cobalah sisihkan sebagian
kecilnya untuk kepertingan agama yang hakikatnya untuk kepentingan diri kita
sendiri dalam rangka menjaga keselamatan diri di hari akhir.
Pada dasarnya kita semua mempunyai tiga sahabat;
sahabat A (harta), sahabat B (keluarga), dan sahabat C (agama). Pelayanan dan
perhatian kepada masing-masing sahabat itu berbeda. Kepada sahabat A, perhatian
kita begitu kuat dan berlebihan. Kepada sahabat B, perhatian kita wajar dan
biasa saja. Dan kepada sahabat C, perhatian yang kita berikan hanya merupakan
sisa dari perhatian kita terhadap sahabat A dan B.
Suatu hari kita dipanggil pengadilan (kematian-alam
kubur). Lantas kita minta tolong pada tiga sahabat tersebut. Sahabat A (harta
kekayaan) tidak bisa menolong bahkan mengantarpun tidak sedangkan perhatian
kita padanya begitu lebih dari sahabat yang lain. Sahabat B (sanak keluarga),
hanya bisa mengantar (sampai pintu kubur) selebihnya mereka pulang dan kita
sendiri yang harus menghadapi pengadilan (alam kubur). Tetapi ternyata sahabat
C (agama) yang mampu mengantar bahkan mendampingi kita di pengadilan, sedangkan
perhatian kepadanya saat hidup di dunia hanya sekedarnya saja. Waktu itulah kita
menyesal kenapa tidak memberikan perhatian lebih kepada sahabat C (agama),
dengan perhatian lebih dia (agama) tidak hanya mengantar dan mendampingi bahkan
bisa membela kita di pengadilan alam kubur.
Maka dengan Iedul Adha ini kita dituntut untuk
berqurban, apapun anugerah dari Allah yang telah kita terima, qurbankanlah
sebagiannya, hakikatnya untuk keselamatan diri kita nanti dihari akhir, untuk
mendampingi dan membela diri kita.
Demikianlah makna pengurbanan dari Iedul Adha yang
harus kita hayati, resapi sekaligus berintropeksi, "Wal tandzur nafsun mâ
qoddamat li ghad!" apa yang telah kita persiapkan untuk hari esok, hari
akhir, hari kiamat yang senantiasa menunggu kita.
Mudah-mudahan selamanya kita mendapatkan hidayah
dan inayah dari Allah Swt., mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari-Nya agar
betul-betul kita mampu meningkatkan pengurbanan untuk keselamatan kita nanti di
hari akhir. Mudah-mudahan Allah membukakan pintu hati kita untuk senantiasa
taat terhadap ajaran dan ajakan-Nya. [Assaha]
Sumber : http://www.pajagalan.com/2007/12/pengurbanan-dengan-menyisihkan-waktu.html